Kekalahan Israel dan Kisah Pasukan Gajah Raja Abrahah
6
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar , Segala Puji bagi Allah azza wa jalla yang telah memenangkan Islam di atas segalanya.
Langit Gaza kembali bergema semalam, bukan lantaran lain hal melainkan pekikan takbir yang membahana, ribuan orang turun ke jalan mengumandangkan takbir kemenangan. Sebuah ekspresi syukur dan kegembiraan atas nikmat kemenangan “intifada” perlawanan terhadap musuh zonis-Israel laknatullah.
Allah kembali membuktikan, bahwa Janji-Nya benar dan pasti terjadi. Sebagaimana yang telah difirmankan-Nya : "Perangilah mereka niscaya Allah akan mengazab mereka melalui tangan kalian, menghinakan mereka, memenangkan kalian atas mereka dan menyembuhkan (kemarahan dalam) dada kaum yang beriman." (QS. At-Taubah : 14)
Israel terpaksa harus menelan “pil pahit” atas kesombongan dan kejahatan yang telah mereka lakukan, yang mengakibatkan mereka terpaksa harus mengangkat bendera putih tanda menyerah kepada kepada pihak Mujahidin. Mereka begitu menganggap remeh kekuasaan Allah, menganggap lemah kekuatan saudara-saudara kita yang berjuang di Palestina. Mereka mengatakan bahwa sistem “Iron Dome” atau “Kubah Besi” yang mereka kembangkan sangat canggih dan dapat mencegah roket dan rudal-rudal mujahidin sebelum sampai ke sasaran di Israel. Namun kenyataannya berbeda, data dari angkatan perang Zionis Israel justru menunjukkan bahwa kemampuan “Iron Dome” yang dibanggakan itu tidak sampai 50 persen.
Lucunya dalam sebuah kesempatan, pemerintah Zionis – Israel yang sebenarnya bermaksud untuk mempertontonkan kehebatan sistem “Iron Dome” (secara live) terpaksa harus malu karena nyatanya sistem yang mereka banggakan itu tidak mampu menangkal roket-roket mujahidin yang menghujaninya, dimana dalam siaran itu juga turut tertangkap kamera sebuah roket yang meledak di kawasan pemukiman Israel.
Tidak hanya itu, Brigade Izuddin Al-Qassam, sayap militer Hamas, menegaskan bahwa operasi militer balasan yang mereka namakan hijaratus sijjil (shalestone – inggris) atau operasi serangan roket batu – batu sijjil menang atas ‘amudus sahaab (operasi militer zionis Israel pilar awan/The Pillars of Deffense). Dijelaskan juga dalam operasi ini mujahidin telah “menghujani” dan menembakkan 1573 roket dan mortar ke berbagai target seperti basis militer, pesawat tempur, kapal perang dan kendaraan-kendaraan militer Zionis – Israel.
Kisah Raja Abrahah dan Pasukan Gajahnya
Nama operasi balasan yang dilancarkan Brigade Al-Qassam “hijaratus sijjil” dan kekalahan telak yang dialami oleh Zionis-Israel tentu mengingatkan kita pada sebuah kisah yang ada pada Al-Qur’an Surat Al-Fil [105]. Kisah tentang raja Abrahah, seorang raja Kristen dan pasukan gajahnya yang menyerang mekkah untuk menghancurkan Ka’bah lantaran ingin membangun sebuah pusat peribadatan (katedral) yang megah menggantikan Ka’bah di San’a.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
[1] Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? [2] Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia?, [3] Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, [4] yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, [5] lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
Ka’bah adalah rumah Allah, kiblat kita umat Islam yang telah dibangun dengan susah payah Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail. Jangankan menyentuh Ka’bah, mendekatpun Allah swt tidak izinkan bagi Abrahah dan bala tentaranya. Dikisahkan tiba-tiba dari arah laut datang sekawanan burung yang terbang menaungi dan berputar-putar di atas kota Mekkah. Jumlahnya yang begitu banyak sehingga membuat langit seakan berawankan burung-burung.
Itulah Burung Ababil yang dikirim oleh Allah SWT, dengan tiga buah batu yang dicengkeram pada kaki dan paruhnya. Batu-batu yang dilemparkan burung Ababil itu bukanlah batu biasa, melainkan batu yang sangat panas dan membara yang membuat pasukan abrahah menjerit kesakitan karena merakan panas yang menyengat ke sampai ke tulang mereka. Sampai-sampai diperumpamakan hancurnya pasukan abrahah seperti ulat yang dimakan daun.
Pasukan gajah Abrahah benar-benar tidak dapat mengelak. Batu-batu itu seolah turun dari langit menghujani mereka tanpa henti dan mengikuti kemanapun mereka berlari. Satu-persatu pasukan abrahah pun tewas dalam keadaan hangus terbakar. Beberapa tentara yang belum terkena lontara batu segera berlarian menyelamatkan diri meninggalkan Kota Suci Mekkah. Mereka mulai menyadari bahwa Ka’bah mempunyai Pemilik yang akan melindunginya, yaitu Allah SWT.
Janji Allah itu Benar dan Pasti Datangnya
Saudaraku, sungguh janji Allah itu benar dan pasti datangnya. Sebagaimana firman Allah swt: “Barang siapa yang beriman dan bertaqwa, maka yakinlah dengan janji-janji Allah Swt. Dia akan memuliakan dan mengangkat derajat orang-orang yang beriman. Dan percayalah, janji-Nya pasti benar. Dia tak akan pernah mengingkari janji-janji-Nya.”
Ingatlah ketika suatu kaum bertanya kepada Rasul-Nya: “Kapankah datang pertolongan Allah?” Maka katakanlah: “Sesungguhnya pertolongan itu dekat”. (QS. Al Baqarah: 214).
Allah akan memenangkan Islam di atas segalanya. Begitu mudah bagi Allah untuk memenangkan muslimin dari orang-orang kafir, meskipun mereka kuat dan banyak jumlahnya serta memiliki persenjataan yang lebih canggih. Maka, janganlah pernah takut dan merasa lemah !
Allah swt berfirman:
“Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 35)
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka . Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan , sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (An Nisa: 104)
“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (QS. Al Hajj:28)
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam perang Badr, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah, karena itu bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mensyukuri-Nya.” (QS. Ali Imran:123).
Maka, nikmat kemenangan yang diperoleh oleh saudara-saudara kita di Palestina haruslah disadari dengan penuh keimanan dan ketakwaan sebagai bentuk pembelaan dan pertolongan Allah, serta dapat menjadi pelajaran bagi kita bahwa janji Allah itu benar dan pasti.
Mohonlah pertolongan pada Allah dan bersabarlah. Satukan barisan !. Jangan tertipu oleh dunia, jangan biarkan kita terlena dan lalai oleh dunia. Dan janganlah juga waktu kita tersita hanya pada perdebatan masalah yang furu’ (cabang), sehingga kita melupakan saudara-saudara kita yang tertindas dan terjajah di negerinya sendiri oleh musuh-musuh Islam.
Berbuat dan bantulah saudara-saudara kita di negeri-negeri terjajah ! Bantulah sesuai dengan apa yang kita bisa bantu.
Optimislah !
Percayalah, Janji Allah itu benar dan pasti datangnya…
Percayalah, karena harapan itu masih ada
Bakda dhuzurku di Sarang Advokat,….
Ditulis oleh Arya Juragankambing 0 comments
Labels: Opini
Pengalaman Gaib, Perjalanan ke Makam Ratu Nahrisyah
Posted by Unknown
Posted on 22.08
with No comments
Pengalaman Gaib, Perjalanan ke Makam Ratu Nahrisyah
Komplek Pemakaman Sultanah Nahrisyah
Menyusuri jejak kerajaan Samudera Pasai, Aceh, pertengahan April 2009 lalu, dalam rangka melengkapi data penulisan novel berlatar belakang sejarah Samudera Pasai, aku menemukan beragam pengalaman, termasuk kejadian gaib.
Dari Jakarta, awalnya aku ingin menempuh perjalanan melalui laut agar bisa merasakan desir angin laut menerpa wajahku, seperti Ibnu Batutta ketika berkunjung ke sana. Namun niat itu urung. Karena selain membutuhkan waktu minimal empat hari, sebuah mimpi membatalkan keinginan itu. Dalam mimpi sehari sebelum berangkat itu, aku didatangi seorang putri yang mengisyaratkan agar aku tidak berangkat melalui laut.
Akhirnya aku mencari jalan aman, dengan naik pesawat dari Jakarta ke Medan. Cuaca sedang tidak bersahabat saat itu, pesawat berputar-putar di udara menunggu sinyal aman dari Bandara Polonia, Medan. Aku berdoa dalam hati, agar diberi keselamatan dalam perjalanan. Pesawat pun tidak bisa mendarat sesuai jadwal. Satu jam kemudian, pesawat mendarat di Medan dengan selamat.
Dari Medan aku harus menuju Lhokseumawe, pusat kerajaan Samudera Pasai zaman dulu. Dengan menggunakan bus berpenyejuk udara, aku memilih berangkat tengah malam agar sampai di Lhokseumawe pagi. Sekitar enam jam perjalanan malam itu aku manfaatkan untuk tidur agar sampai kota tujuan dengan kesegaran pagi yang indah.
Pagi hari, bus memasuki Lhokseumawe, kota seluas 181,06 kilometer persegi, yang berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah utara. Bus berhenti di Terminal Bus Lhokseumawe. Suasana terminal tidak terlalu ramai. Baru beberapa langkah aku ke luar terminal, para tukang betor (becak motor), kendaraan khas kota Aceh, menyambutku. Satu orang kupilih untuk mengantarkan aku ke tujuan, pusat Kerajaan Samudera Pasai.
Tukang betor itu, Bang Win, rupanya sangat tertarik dengan niatku. Meski asli Aceh, ternyata ia mengaku belum pernah berkunjung ke sana. Tetapi Bang Win mengetahui lokasinya, yaitu di Geudong, 15 kilometer lebih ke arah timur dari Kota Lhokseumawe. Setelah biaya jasa transportasi disepakati, aku pun mencari penginapan. Usai sarapan pagi, Bang Win siap membawaku ke Geudong.
Perjalanan setengah jam itu pun aku nikmati sambil melihat kiri kanan jalan.
Di Pasar Geudong, betor belok ke kiri, menuju makam Raja Malikussaleh. Di daerah ini, aku sudah memasuki pusat Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13. Perjalanan menuju makam melewati sawah-sawah dan rumah penduduk. Ternak sapi dan kambing terlihat di sepanjang perjalanan. Kata Bang Win, ternak itu dibiarkan liar begitu saja, tidak dikandangkan, tetapi pemiliknya mengetahui mana ternak milik mereka, mana milik orang lain.
Jam menunjuk pukul sepuluh ketika aku tiba di Makam Malikussaleh. Yakub, penjaga Makam, menyambutku dan kami sempat ngobrol. Satu jam sebelum kedatanganku, kata Pak Yakub—begitu aku memanggil pria 70 tahun itu--sudah datang rombongan 50 orang dari Bandung yang berkunjung ke makam ini. Setiap hari, Makam Malikussaleh dan Malikuddhahir memang tidak pernah sepi oleh kunjungan para penziarah. Umumnya mereka datang dari luar kota, bahkan tidak sedikit yang datang dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Menempati areal sekitar 200 meter persegi, makam itu dikelilingi pagar setengah tembok yang tingginya sekitar dua meter. Di sisi kanan dari arah jalan, terdapat dua pohon besar, yang kata Pak Yakub, berusia ratusan tahun.
Selain dilindungi oleh rimbunnya dua pohon besar, makam itu juga diayomi saungan sehingga terhindar dari terik matahari dan hujan. Di atas saungan, terdapat tulisan kalimat yang diambil dari ukiran di batu nisan makam Malikussaleh dan Malikuddhahir yang berbunyi: Dikubur almarhum, yang diampuni, yang takwa, pemberi nasihat, yang dicintai, bangsawan, yang mulia, yang penyantun, penakluk, yang digelar dengan “Sultan Al-Malikussaleh”. Yang paham agama, yang berpindah (wafat) dalam bulan Ramadhan tahun 690 H.
Sementara itu, tulisan lain berbunyi: Ini kubur yang bahagia, yang syahid, almarhum “Sultan Al-Malikuddhahir”. Matahari (pemberi cahaya) dunia dan agama, Muhammad anak Al-Malikussaleh, wafat pada malam ahad 12 hari bulan Zulhijah tahun 726 H.
Sekitar setengah kilometer dari makam itu ada lokasi yang dulu merupakan istana Kerajaan Pasai. Sayang sekali, wujud fisik bangunan yang berada persis di bibir pantai Lhokseumawe, Aceh Utara, itu tak lagi bisa dinikmati. Kawasan itu sudah beralih fungsi menjadi lahan pertambakan. Bekas-bekas pondasi dari batu bata merah masih terlihat di atas tanah tempat kerajaan berdiri. Di atas tanah seluas lebih dari lima hektare itu, kebesaran kerajaan masih sangat terasa.
Di lokasi itu juga terdapat makam Peut Ploh Peut, ulama yang meninggal karena dieksekusi Raja Bakoi, salah satu raja di Pasai, yang menganggap ulama itu sebagai lawan politiknya. Atas kesewenang-wenangannya, rakyat menjuluki dia Raja Bakoi, yang menurut masyarakat setempat berarti pelit.
Setelah dari makam Malikussaleh dan Malikuddhahir, aku menuju makam Sultanah Nahrisyah, sekitar satu kilometer ke arah pantai. Letak makam memang tidak jauh dari bibir pantai. Hanya dibatasi tambak-tambak ikan yang konon pada zaman kejayaan Samudera Pasai adalah kanal-kanal kecil yang dapat dilalui perahu untuk transportasi laut.
Makam Ratu Nahrisyah yang terbuat dari marmer dengan ukiran bermotif flora itu sangat mengesankan. Marmer-marmer mewah cokelat susu itu didatangkan khusus dari Gujarat, India, untuk menghias tempat peristirahatan terakhir sang ratu. Makam ini bisa dibongkar pasang, seperti lembaran papan yang bisa disusun ulang.
Dari makam Ratu Nahrisyah, aku memandang ke arah pantai, ke Selat Malaka. Aku pun membayangkan, dulu pada abad ke-13, tempat ini adalah dermaga yang begitu besar dan indah, tempat perdagangan internasional yang begitu sangat terkenal. Pedagang dari Eropa, India, Afrika, Timur Tengah, semuanya tumpah ruah di sini.
Menurut catatan, begitu terkenalnya kejayaan Samudera Pasai ketika itu, Mahapatih Kerajaan Majapahit, Gajah Mada, berambisi untuk menaklukannya di bawah Sumpah Palapa.
Tahun 1350, Majapahit menyerang Samudera Pasai, dibantu dengan sekutunya dari kerajaan hindu– Sriwijaya dan India. Perang inilah yang mungkin membuat kejayaan Samudera Pasai selanjutnya tak tertuliskan. Seakan berhenti di kekuasaan Sultanah Nahrisyah, putri Sultan Malikuddhahir III.
Padahal, menurut Ramlan Yunus, anggota tim peneliti peninggalan Kerajaan Samudera Pasai, dan kata penjaga makam Ratu Nahrisyah, kekuasaan Samudera Pasai tidak berhenti hanya sampai Ratu Nahrisyah. Berdasarkan catatan artefak yang terdapat di makam-makam lain, yang hingga saat ini masih terus ditemukan, kekuasaan Samudera Pasai berlanjut hingga abad ke-16 meski bukan lagi dari darah daging Malikussaleh.
“Harus ada penelitian yang berkesinambungan dan catatan yang tersusun untuk menggali kembali kejayaan Samudera Pasai. Karena hingga kini, belum ada keseriusan dari pemerintah setempat untuk menggali silsilah dan sejarah Samudera Pasai lebih jauh,” kata Ramlan, yang saat itu menemani aku mengunjungi Makam Sultanah Nahrisyah.
Lebih jauh Ramlan menceritakan bahwa ia bersama tim yang diketuai Taqiyuddin Muhammad Lc bekerja secara independen untuk mendata dan menggali jejak-jejak peninggalan kerajaan Samudera Pasai. Karena di sekitar makam Ratu Nahrisyah, sering ditemukan barang-barang berharga dari peninggalan abad ke-13 dan ke-14. Bahkan belum lama ini, ditemukan stempel kerajaan yang diyakini peninggalan pada masa berkuasanya Malikuddhahir II.
Dalam perjalanan ini, aku mengalami kejadian yang sulit dipercaya. Dari makam sang ratu, aku pulang ke penginapan untuk beristirahat. Tetapi antara sadar dan tidak, aku merasa didatangi dua orang berpakaian layaknya prajurit kerajaan. Mereka memaksaku untuk kembali ke makam Ratu Nahrisyah.
"Ayo, ikut kami kembali ke makam Ratu Nahrisyah," ajak dua orang prajurit itu.
Aku tercengang, tidak percaya pada apa yang aku lihat. "Tidak mau, aku tidak mau ikut," ujarku, menolak sambil berteriak histeris menyebut Allahu Akbar berulang-ulang.
Begitu sadar, aku lihat Bang Win, pemandu-ku sudah ada di depanku sambil menatapku bingung.
"Apa yang telah terjadi, Bang?" tanyaku pada Bang Win.
"Kamu baru saja berteriak sambil merontak-rontak," jawab Bang Win.
Aku ceritakan kepada Bang Win apa yang aku alami.
Kegaduhan itu juga mengundang tetangga kamar yang langsung berdatangan ke kamarku. Mereka bertanya-tanya, “Kenapa? Ada Apa?”
Kepada mereka, aku pun menceritakan apa yang baru saja aku alami. Salah satu dari mereka menganjurkan agar aku kembali lagi ke makam Ratu Nahrisyah.
“Coba kamu kembali ke makam Putri Nahrisyah, mungkin ada yang terlupa di sana,” kata salah satu dari mereka.
Aku tidak menghiraukan anjuran itu karena badanku agak lelah. Bang Win pun menganjurkan agar aku istirahat kembali. Namun, baru beberapa menit berlalu, aku kembali didatangi dua prajurit tadi dan memaksaku untuk ikut mereka. Tanganku dicengkeram oleh dua prajurit itu.
“Ayo ikut kami,” kata dua prajurit itu.
Aku berontak sekuat tenaga. Karena dalam pikiran sadarku, kalau aku ikut mereka, berarti rohku yang ikut. “Tidak mau! Tidak mau. Aku tidak mau ikut. Allahu Akbar, Allahu Akbar!”
Aku kembali tersadar. Kejadian itu disaksikan oleh empat orang yang ada di ruangan. Mereka langsung menenangkan aku. Tanpa pikir panjang lagi Bang Win langsung membawaku kembali ke makam Ratu Nahrisyah.
Setibanya di sana, aku bertemu lagi dengan Ramlan. Aku ceritakan kepadanya apa yang aku alami.
“Hal-hal aneh memang sering terjadi di tempat ini. Pada 1994, ketika kompleks pemakaman ini dipugar, ada orang yang mengukur salah satu makam dengan jengkalan kaki. Detik itu juga, orang tersebut mulutnya langsung berbusa dan tidak sadarkan diri. Orang itu baru sembuh ketika kita meminta maaf pada hal yang gaib,” tutur Ramlan.
”Pada 2004 lalu, ketika terjadi tsunami, ketinggian air di tempat ini sekitar satu meter dua puluh senti. Air setinggi itu tidak melewati makam ini, namun menjebol tembok-tembok pembatas makam yang mengelilinginya.” ujarnya lagi.
Oleh Ramlan, aku pun diantar kembali ke makam. Rupanya dua blok dari makam Ratu Nahrisyah, hanya sepuluh langkah jaraknya, aku melihat makam-makam prajurit kerajaan Samudera Pasai. Mungkin mereka marah kepadaku karena tidak kusapa. Dan aku merasa sangat beruntung karena aku dituntun untuk kembali lagi ke makam tersebut. Karena pada kunjungan yang kedua, aku akhirnya dapat melihat makam Panglima Kerajaan Samudera Pasai yang panjangnya kurang lebih tujuh meter.
Ketika kejadian ini aku ceritakan kepada rekanku yang tinggal di Lhokseumawe, dia menanggapinya dengan serius. “Seperti yang pernah aku ceritakan kepadamu Gar, di sekitar makam para prajurit itu, warga sering menemukan uang emas saat hujan turun. Sayang aku belum pernah melihat makam itu.”
Aku bergidik mendengar penjelasannya walau tentu tidak ada maksud untuk menakut-nakutiku. Bagaimanapun pengalaman itu sangat berarti buatku.
Dari Jakarta, awalnya aku ingin menempuh perjalanan melalui laut agar bisa merasakan desir angin laut menerpa wajahku, seperti Ibnu Batutta ketika berkunjung ke sana. Namun niat itu urung. Karena selain membutuhkan waktu minimal empat hari, sebuah mimpi membatalkan keinginan itu. Dalam mimpi sehari sebelum berangkat itu, aku didatangi seorang putri yang mengisyaratkan agar aku tidak berangkat melalui laut.
Akhirnya aku mencari jalan aman, dengan naik pesawat dari Jakarta ke Medan. Cuaca sedang tidak bersahabat saat itu, pesawat berputar-putar di udara menunggu sinyal aman dari Bandara Polonia, Medan. Aku berdoa dalam hati, agar diberi keselamatan dalam perjalanan. Pesawat pun tidak bisa mendarat sesuai jadwal. Satu jam kemudian, pesawat mendarat di Medan dengan selamat.
Dari Medan aku harus menuju Lhokseumawe, pusat kerajaan Samudera Pasai zaman dulu. Dengan menggunakan bus berpenyejuk udara, aku memilih berangkat tengah malam agar sampai di Lhokseumawe pagi. Sekitar enam jam perjalanan malam itu aku manfaatkan untuk tidur agar sampai kota tujuan dengan kesegaran pagi yang indah.
Pagi hari, bus memasuki Lhokseumawe, kota seluas 181,06 kilometer persegi, yang berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah utara. Bus berhenti di Terminal Bus Lhokseumawe. Suasana terminal tidak terlalu ramai. Baru beberapa langkah aku ke luar terminal, para tukang betor (becak motor), kendaraan khas kota Aceh, menyambutku. Satu orang kupilih untuk mengantarkan aku ke tujuan, pusat Kerajaan Samudera Pasai.
Tukang betor itu, Bang Win, rupanya sangat tertarik dengan niatku. Meski asli Aceh, ternyata ia mengaku belum pernah berkunjung ke sana. Tetapi Bang Win mengetahui lokasinya, yaitu di Geudong, 15 kilometer lebih ke arah timur dari Kota Lhokseumawe. Setelah biaya jasa transportasi disepakati, aku pun mencari penginapan. Usai sarapan pagi, Bang Win siap membawaku ke Geudong.
Perjalanan setengah jam itu pun aku nikmati sambil melihat kiri kanan jalan.
Di Pasar Geudong, betor belok ke kiri, menuju makam Raja Malikussaleh. Di daerah ini, aku sudah memasuki pusat Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13. Perjalanan menuju makam melewati sawah-sawah dan rumah penduduk. Ternak sapi dan kambing terlihat di sepanjang perjalanan. Kata Bang Win, ternak itu dibiarkan liar begitu saja, tidak dikandangkan, tetapi pemiliknya mengetahui mana ternak milik mereka, mana milik orang lain.
Jam menunjuk pukul sepuluh ketika aku tiba di Makam Malikussaleh. Yakub, penjaga Makam, menyambutku dan kami sempat ngobrol. Satu jam sebelum kedatanganku, kata Pak Yakub—begitu aku memanggil pria 70 tahun itu--sudah datang rombongan 50 orang dari Bandung yang berkunjung ke makam ini. Setiap hari, Makam Malikussaleh dan Malikuddhahir memang tidak pernah sepi oleh kunjungan para penziarah. Umumnya mereka datang dari luar kota, bahkan tidak sedikit yang datang dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Menempati areal sekitar 200 meter persegi, makam itu dikelilingi pagar setengah tembok yang tingginya sekitar dua meter. Di sisi kanan dari arah jalan, terdapat dua pohon besar, yang kata Pak Yakub, berusia ratusan tahun.
Selain dilindungi oleh rimbunnya dua pohon besar, makam itu juga diayomi saungan sehingga terhindar dari terik matahari dan hujan. Di atas saungan, terdapat tulisan kalimat yang diambil dari ukiran di batu nisan makam Malikussaleh dan Malikuddhahir yang berbunyi: Dikubur almarhum, yang diampuni, yang takwa, pemberi nasihat, yang dicintai, bangsawan, yang mulia, yang penyantun, penakluk, yang digelar dengan “Sultan Al-Malikussaleh”. Yang paham agama, yang berpindah (wafat) dalam bulan Ramadhan tahun 690 H.
Sementara itu, tulisan lain berbunyi: Ini kubur yang bahagia, yang syahid, almarhum “Sultan Al-Malikuddhahir”. Matahari (pemberi cahaya) dunia dan agama, Muhammad anak Al-Malikussaleh, wafat pada malam ahad 12 hari bulan Zulhijah tahun 726 H.
Sekitar setengah kilometer dari makam itu ada lokasi yang dulu merupakan istana Kerajaan Pasai. Sayang sekali, wujud fisik bangunan yang berada persis di bibir pantai Lhokseumawe, Aceh Utara, itu tak lagi bisa dinikmati. Kawasan itu sudah beralih fungsi menjadi lahan pertambakan. Bekas-bekas pondasi dari batu bata merah masih terlihat di atas tanah tempat kerajaan berdiri. Di atas tanah seluas lebih dari lima hektare itu, kebesaran kerajaan masih sangat terasa.
Di lokasi itu juga terdapat makam Peut Ploh Peut, ulama yang meninggal karena dieksekusi Raja Bakoi, salah satu raja di Pasai, yang menganggap ulama itu sebagai lawan politiknya. Atas kesewenang-wenangannya, rakyat menjuluki dia Raja Bakoi, yang menurut masyarakat setempat berarti pelit.
Setelah dari makam Malikussaleh dan Malikuddhahir, aku menuju makam Sultanah Nahrisyah, sekitar satu kilometer ke arah pantai. Letak makam memang tidak jauh dari bibir pantai. Hanya dibatasi tambak-tambak ikan yang konon pada zaman kejayaan Samudera Pasai adalah kanal-kanal kecil yang dapat dilalui perahu untuk transportasi laut.
Makam Ratu Nahrisyah yang terbuat dari marmer dengan ukiran bermotif flora itu sangat mengesankan. Marmer-marmer mewah cokelat susu itu didatangkan khusus dari Gujarat, India, untuk menghias tempat peristirahatan terakhir sang ratu. Makam ini bisa dibongkar pasang, seperti lembaran papan yang bisa disusun ulang.
Dari makam Ratu Nahrisyah, aku memandang ke arah pantai, ke Selat Malaka. Aku pun membayangkan, dulu pada abad ke-13, tempat ini adalah dermaga yang begitu besar dan indah, tempat perdagangan internasional yang begitu sangat terkenal. Pedagang dari Eropa, India, Afrika, Timur Tengah, semuanya tumpah ruah di sini.
Menurut catatan, begitu terkenalnya kejayaan Samudera Pasai ketika itu, Mahapatih Kerajaan Majapahit, Gajah Mada, berambisi untuk menaklukannya di bawah Sumpah Palapa.
Tahun 1350, Majapahit menyerang Samudera Pasai, dibantu dengan sekutunya dari kerajaan hindu– Sriwijaya dan India. Perang inilah yang mungkin membuat kejayaan Samudera Pasai selanjutnya tak tertuliskan. Seakan berhenti di kekuasaan Sultanah Nahrisyah, putri Sultan Malikuddhahir III.
Padahal, menurut Ramlan Yunus, anggota tim peneliti peninggalan Kerajaan Samudera Pasai, dan kata penjaga makam Ratu Nahrisyah, kekuasaan Samudera Pasai tidak berhenti hanya sampai Ratu Nahrisyah. Berdasarkan catatan artefak yang terdapat di makam-makam lain, yang hingga saat ini masih terus ditemukan, kekuasaan Samudera Pasai berlanjut hingga abad ke-16 meski bukan lagi dari darah daging Malikussaleh.
“Harus ada penelitian yang berkesinambungan dan catatan yang tersusun untuk menggali kembali kejayaan Samudera Pasai. Karena hingga kini, belum ada keseriusan dari pemerintah setempat untuk menggali silsilah dan sejarah Samudera Pasai lebih jauh,” kata Ramlan, yang saat itu menemani aku mengunjungi Makam Sultanah Nahrisyah.
Lebih jauh Ramlan menceritakan bahwa ia bersama tim yang diketuai Taqiyuddin Muhammad Lc bekerja secara independen untuk mendata dan menggali jejak-jejak peninggalan kerajaan Samudera Pasai. Karena di sekitar makam Ratu Nahrisyah, sering ditemukan barang-barang berharga dari peninggalan abad ke-13 dan ke-14. Bahkan belum lama ini, ditemukan stempel kerajaan yang diyakini peninggalan pada masa berkuasanya Malikuddhahir II.
Dalam perjalanan ini, aku mengalami kejadian yang sulit dipercaya. Dari makam sang ratu, aku pulang ke penginapan untuk beristirahat. Tetapi antara sadar dan tidak, aku merasa didatangi dua orang berpakaian layaknya prajurit kerajaan. Mereka memaksaku untuk kembali ke makam Ratu Nahrisyah.
"Ayo, ikut kami kembali ke makam Ratu Nahrisyah," ajak dua orang prajurit itu.
Aku tercengang, tidak percaya pada apa yang aku lihat. "Tidak mau, aku tidak mau ikut," ujarku, menolak sambil berteriak histeris menyebut Allahu Akbar berulang-ulang.
Begitu sadar, aku lihat Bang Win, pemandu-ku sudah ada di depanku sambil menatapku bingung.
"Apa yang telah terjadi, Bang?" tanyaku pada Bang Win.
"Kamu baru saja berteriak sambil merontak-rontak," jawab Bang Win.
Aku ceritakan kepada Bang Win apa yang aku alami.
Kegaduhan itu juga mengundang tetangga kamar yang langsung berdatangan ke kamarku. Mereka bertanya-tanya, “Kenapa? Ada Apa?”
Kepada mereka, aku pun menceritakan apa yang baru saja aku alami. Salah satu dari mereka menganjurkan agar aku kembali lagi ke makam Ratu Nahrisyah.
“Coba kamu kembali ke makam Putri Nahrisyah, mungkin ada yang terlupa di sana,” kata salah satu dari mereka.
Aku tidak menghiraukan anjuran itu karena badanku agak lelah. Bang Win pun menganjurkan agar aku istirahat kembali. Namun, baru beberapa menit berlalu, aku kembali didatangi dua prajurit tadi dan memaksaku untuk ikut mereka. Tanganku dicengkeram oleh dua prajurit itu.
“Ayo ikut kami,” kata dua prajurit itu.
Aku berontak sekuat tenaga. Karena dalam pikiran sadarku, kalau aku ikut mereka, berarti rohku yang ikut. “Tidak mau! Tidak mau. Aku tidak mau ikut. Allahu Akbar, Allahu Akbar!”
Aku kembali tersadar. Kejadian itu disaksikan oleh empat orang yang ada di ruangan. Mereka langsung menenangkan aku. Tanpa pikir panjang lagi Bang Win langsung membawaku kembali ke makam Ratu Nahrisyah.
Setibanya di sana, aku bertemu lagi dengan Ramlan. Aku ceritakan kepadanya apa yang aku alami.
“Hal-hal aneh memang sering terjadi di tempat ini. Pada 1994, ketika kompleks pemakaman ini dipugar, ada orang yang mengukur salah satu makam dengan jengkalan kaki. Detik itu juga, orang tersebut mulutnya langsung berbusa dan tidak sadarkan diri. Orang itu baru sembuh ketika kita meminta maaf pada hal yang gaib,” tutur Ramlan.
”Pada 2004 lalu, ketika terjadi tsunami, ketinggian air di tempat ini sekitar satu meter dua puluh senti. Air setinggi itu tidak melewati makam ini, namun menjebol tembok-tembok pembatas makam yang mengelilinginya.” ujarnya lagi.
Oleh Ramlan, aku pun diantar kembali ke makam. Rupanya dua blok dari makam Ratu Nahrisyah, hanya sepuluh langkah jaraknya, aku melihat makam-makam prajurit kerajaan Samudera Pasai. Mungkin mereka marah kepadaku karena tidak kusapa. Dan aku merasa sangat beruntung karena aku dituntun untuk kembali lagi ke makam tersebut. Karena pada kunjungan yang kedua, aku akhirnya dapat melihat makam Panglima Kerajaan Samudera Pasai yang panjangnya kurang lebih tujuh meter.
Ketika kejadian ini aku ceritakan kepada rekanku yang tinggal di Lhokseumawe, dia menanggapinya dengan serius. “Seperti yang pernah aku ceritakan kepadamu Gar, di sekitar makam para prajurit itu, warga sering menemukan uang emas saat hujan turun. Sayang aku belum pernah melihat makam itu.”
Aku bergidik mendengar penjelasannya walau tentu tidak ada maksud untuk menakut-nakutiku. Bagaimanapun pengalaman itu sangat berarti buatku.
Posted by Unknown
Posted on 16.52
with No comments
Kerajaan-kerajaan berkaitan dengan Raja Rum (1)
14/03/2011 by pardedejabijabi in Uncategorized | Permalink
Kerajaan Linge adalah sebuah Kerjaaan kuno di Gayo Aceh
Pendahuluan:
Asal kata Linge :
Kata linge terdiri dari dua kata; “ling” dan “nge”. “Ling” dalam bahasa Indonesia artinya adalah suara, sedangkan “nge” dalam bahasa Indonesia artinya adalah nya, Jadi, apabila di gabungkan antara dua kata tersebut adalah suaranya. Yang maknanya adalah suaranya ada, tetapi manusia-nya tidak jelas, begitulah makna Kerjaan Linge sekarang ini. Artinya suara orang atau masyarakat setempat bahwa mengatakan Kerjaan Linge itu ada, tetapi Bukti-Bukti peninggalannya tidak ada. Kalaupun ada, itu semua berarti hanya sedikit dari yang diharapkan.
Setiap daerah punya ragam cerita, namun cerita turun temurun itu kadang kala lebih dekat pada mitos tinimbang sejarah. Begitu juga dengan Negeri Linge di dataran tinggi Gayo.Tentang kisah berdirinya kerajaan Linge ad beberap versi tetapi yang kita sajikan kali ini adalah kisah Adi Genali pendiri Kerajaan Linge seorang anak Nelayan.
Kerajaan Linge adalah sebuah Kerjaaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) mempunyai empat orang anak yaitu: Empu Beru, Sibayak Linge, Merah Johan, Reje Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M).
Pada jaman dahulu kala ketika dunia ini masih diliputi lautan yang mahaluas, dan daratan masih ditumbuhi tumbuhan jarum, hiduplah di negeri Rum dua bersaudara. Si abang sebagai rakyat jelata, mempunyai tujuh orang putra, sedang adiknya sebagai seorang raja, mempunyai tujuh orang putri.
Pada suatu hari ketujuh putra si abang meminta kepada ayahnya, agar ayahnya membuat kail seorang satu buah. Karena ayahnya begitu sayang kepada anaknya lalu ia mencari beberapa kerat kawat. Tiap potong dibuat dua mata kail. Kini tinggal satu lagi yang tidak punya pasangan. Ketika kawat itu belum dikerat, seorang anaknya bernama Genali secara diam-diam mengambil kawat yang masih lurus tadi.
Dengan cepat ia mencari tali dan mengikat kawat lurus itu, lalu ia pergi ke laut. Setelah Genau pergi barulah orang tuanya sadar bahwa kawatnya hilang satu potong dan anaknya seorang tidak ada lagi.
Pada saat itu Genali sedang mengail dan duduk di atas sepotong batang kayu yang dapat terapung jika air pasang. Seekor ikan segera memakan kailnya. Genali menarik kail, tapi ia sendiri ikut ditarik ikan itu ke tengah dan terus sampai ke tengah lautan luas. Sehingga ia terdampar di sebuah pulau kecil bersama ikan dan perahu kayunya.
Berbulan-bulan ia di situ sendirian sehingga pakaiannya habis dan makanan pun tidak ada lagi. Tiap saat ia memohon pada Yang Maha Kuasa agar ia terlepas dari bencana ini. Sehingga pada suatu hari lewatlah sebuah kapal ke pulau itu. Kapal itu dipanggilnya.
Tetapi tidak mau berhenti. Anehnya kapal itu hanya berputar-putar di daerah itu saja. Barulah ketika kapal itu singgah dan menerima pesan dari Genali mereka dapat berlayar dengan lancar kembali.
Lima bulan kemudian kapal itu sampai di negeri Rum. Ikan diserahkan kepada sultan Rum dan pesan Genau meminta ayam jago yang bagus kokoknya dan kain putih empat hasta disampaikan.
Raja Rum menerima pesan Genau dengan baik, dan ikan kiriman lalu dibelah. Di dalamnya terdapat intan berlian.
Permintaan Genali, ayam jago yang bagus kokoknya, putri raja Rumlah yang menebaknya. Sebenarnya dirinyalah yang dipesan Genali, tak dapat ditolak lagi, karena kiriman Genali berupa ikan sudah diterima dan dibelah pula. Persediaan untuk berangkat dilengkapi : Sebuah kapal, juga hewan ternak, inang pengasuh, orang cerdik pandai, dan bibi putri Terus Mata bernama datu Beru ikut serta.
Setelah selesai mereka pun berangkat. Sebulan kemudian kapal itu sampailah di pulau tempat Genali berada. Yang pertama diserahkan ialah kain putih empat hasta, karena Genali tidak berpakaian.
Beberapa lama kemudian putri Terus Mata dan Genali dinikahkan di pulau itu. Pulau itu sekarang terkenal dengan buntul Linge, dengan rajanya bernama Genali.
Keturunan Raja Genali adalahJoharsyah, Joharsyah dan Merah Abuk. Setelah lama Genau memerintah, pada suatu hari sakit lalu meninggal dunia. Aneh ketika keranda dibuka dan akan dimakamkan, jenazahnya hilang. Rakyat terharu bercampur heran. Kemudian kerajaan diperintah oleh permaisuri.
Tersebutlah raja yang mangkat, sebenarnya jasadnya terbang ke Kutaraja. Di sana Genali juga menikah dan dapat keturunan seorang putra bernama Alisyah. Ketika Alisyah masih kecil Genali pergi ke Gayo dan memerintah di sana.
Sekembalinya Genau ke Gayo, Alisyah dipelihara ibunya sampai menanjak besar. Alisyah adalah anak yang pintar. Kalau ada pertandingan bermain selalu menang. Karena itulah teman-teman sepermainan yang bertanding dengan dia menjadi sakit hati. Mereka mengatakan, bahwa Alisyah adalah anak yang tidak mempunyai bapak.
Karena itulah Alisyah tergesa-gesa pulang ke rumah dan menanyakan perihal bapaknya. Ia sangat malu dikatakan anak tak berbapak. Di manakah bapaknya sekarang. Kalau mati di mana kuburnya, dan kalau masih hidup di mana tinggalnya.
Oleh ibunya diterangkan, bahwa bapak Alisyah sekarang berada di Buntul Linge sebagai raja di sana. Jika Alisyah ingin menjumpai bapaknya, ibunya mengizinkan dan sebagai tanda Alisyah dibekali sebuah cincin yang diberikan Genali dahulu. Alisyah menyusul ayahnya ke Buntul Linge.
Di Buntul Linge ia diterima oleh semua keluarga dengan baik. Terutama ibu yang dijumpainya sangat senang kepadanya. Bahkan mengkhitankan anaknya bertiga sekaligus. Ketika akan dikhitankan ketiga anak itu dicoba. Siapakah di antara ketiganya yang tepat kelak menjadi raja. Secara bergiliran di atas kepala mereka diletakkan topi kerajaan.
Ternyata di antara ketiganya Alisyahlah yang serasi dengan topi itu. Maka ditetapkanlah, bahwa yang menggantikan Genali kelak ialah Alisyah.
Setelah ditetapkan siapa yang akan menjadi pengganti raja maka khitanan pun dilaksanakan. Salah satu di antara mereka ialah Joharsyah tidak termakan pisau. Karena malu ia lari ke daerah Batak.
Setelah Genali meninggal, Alisyahlah yang memerintah. Dia adalah seorang raja yang arif dan bijaksana. Rakyat bertambah makmur.
Namun demikian, ia teringat kembali ke Kutaraja. Ia ingin kembali. Alisyah pulang ke Kutaraja dan memerintah di sana, dan sebagai gantinya di Buntul Linge, memerintah Joharsyah. Tersebutlah di negeri lain, ketika pulau Sumatra telah timbul di permukaan air.
Kisah pertama ialah Raja Johor yang mempunyai dua orang putra, yang sulung bernama Muria dan yang bungsu bernama Sengeda. Ketika keduanya sedang bermain layang-layang datang angin kencang, hingga membawa mereka ke sebuah tempat bernama Senile.
Kisah kedua ialah Muria dan Sengeda ialah anak seorang petani yang disuruh ayahnya mencari itik yang hilang. Harus dicari sampai ketemu. Mereka tidak menemukan itik bahkan mereka terdampar ke Senile. Di sana mereka diterima raja Senile, yang bernama Muyang Kaya.
Muyang Kaya menanyakan asal kedua anak itu. Tapi mereka Kerajaan-kerajaan berkaitan dengan Raja Rum (1)
14/03/2011 by pardedejabijabi in Uncategorized | Permalink
Kerajaan Linge adalah sebuah Kerjaaan kuno di Gayo Aceh
Pendahuluan:
Asal kata Linge :
Kata linge terdiri dari dua kata; “ling” dan “nge”. “Ling” dalam bahasa Indonesia artinya adalah suara, sedangkan “nge” dalam bahasa Indonesia artinya adalah nya, Jadi, apabila di gabungkan antara dua kata tersebut adalah suaranya. Yang maknanya adalah suaranya ada, tetapi manusia-nya tidak jelas, begitulah makna Kerjaan Linge sekarang ini. Artinya suara orang atau masyarakat setempat bahwa mengatakan Kerjaan Linge itu ada, tetapi Bukti-Bukti peninggalannya tidak ada. Kalaupun ada, itu semua berarti hanya sedikit dari yang diharapkan.
Setiap daerah punya ragam cerita, namun cerita turun temurun itu kadang kala lebih dekat pada mitos tinimbang sejarah. Begitu juga dengan Negeri Linge di dataran tinggi Gayo.Tentang kisah berdirinya kerajaan Linge ad beberap versi tetapi yang kita sajikan kali ini adalah kisah Adi Genali pendiri Kerajaan Linge seorang anak Nelayan.
Kerajaan Linge adalah sebuah Kerjaaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) mempunyai empat orang anak yaitu: Empu Beru, Sibayak Linge, Merah Johan, Reje Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M).
Pada jaman dahulu kala ketika dunia ini masih diliputi lautan yang mahaluas, dan daratan masih ditumbuhi tumbuhan jarum, hiduplah di negeri Rum dua bersaudara. Si abang sebagai rakyat jelata, mempunyai tujuh orang putra, sedang adiknya sebagai seorang raja, mempunyai tujuh orang putri.
Pada suatu hari ketujuh putra si abang meminta kepada ayahnya, agar ayahnya membuat kail seorang satu buah. Karena ayahnya begitu sayang kepada anaknya lalu ia mencari beberapa kerat kawat. Tiap potong dibuat dua mata kail. Kini tinggal satu lagi yang tidak punya pasangan. Ketika kawat itu belum dikerat, seorang anaknya bernama Genali secara diam-diam mengambil kawat yang masih lurus tadi.
Dengan cepat ia mencari tali dan mengikat kawat lurus itu, lalu ia pergi ke laut. Setelah Genau pergi barulah orang tuanya sadar bahwa kawatnya hilang satu potong dan anaknya seorang tidak ada lagi.
Pada saat itu Genali sedang mengail dan duduk di atas sepotong batang kayu yang dapat terapung jika air pasang. Seekor ikan segera memakan kailnya. Genali menarik kail, tapi ia sendiri ikut ditarik ikan itu ke tengah dan terus sampai ke tengah lautan luas. Sehingga ia terdampar di sebuah pulau kecil bersama ikan dan perahu kayunya.
Berbulan-bulan ia di situ sendirian sehingga pakaiannya habis dan makanan pun tidak ada lagi. Tiap saat ia memohon pada Yang Maha Kuasa agar ia terlepas dari bencana ini. Sehingga pada suatu hari lewatlah sebuah kapal ke pulau itu. Kapal itu dipanggilnya.
Tetapi tidak mau berhenti. Anehnya kapal itu hanya berputar-putar di daerah itu saja. Barulah ketika kapal itu singgah dan menerima pesan dari Genali mereka dapat berlayar dengan lancar kembali.
Lima bulan kemudian kapal itu sampai di negeri Rum. Ikan diserahkan kepada sultan Rum dan pesan Genau meminta ayam jago yang bagus kokoknya dan kain putih empat hasta disampaikan.
Raja Rum menerima pesan Genau dengan baik, dan ikan kiriman lalu dibelah. Di dalamnya terdapat intan berlian.
Permintaan Genali, ayam jago yang bagus kokoknya, putri raja Rumlah yang menebaknya. Sebenarnya dirinyalah yang dipesan Genali, tak dapat ditolak lagi, karena kiriman Genali berupa ikan sudah diterima dan dibelah pula. Persediaan untuk berangkat dilengkapi : Sebuah kapal, juga hewan ternak, inang pengasuh, orang cerdik pandai, dan bibi putri Terus Mata bernama datu Beru ikut serta.
Setelah selesai mereka pun berangkat. Sebulan kemudian kapal itu sampailah di pulau tempat Genali berada. Yang pertama diserahkan ialah kain putih empat hasta, karena Genali tidak berpakaian.
Beberapa lama kemudian putri Terus Mata dan Genali dinikahkan di pulau itu. Pulau itu sekarang terkenal dengan buntul Linge, dengan rajanya bernama Genali.
Keturunan Raja Genali adalahJoharsyah, Joharsyah dan Merah Abuk. Setelah lama Genau memerintah, pada suatu hari sakit lalu meninggal dunia. Aneh ketika keranda dibuka dan akan dimakamkan, jenazahnya hilang. Rakyat terharu bercampur heran. Kemudian kerajaan diperintah oleh permaisuri.
Tersebutlah raja yang mangkat, sebenarnya jasadnya terbang ke Kutaraja. Di sana Genali juga menikah dan dapat keturunan seorang putra bernama Alisyah. Ketika Alisyah masih kecil Genali pergi ke Gayo dan memerintah di sana.
Sekembalinya Genau ke Gayo, Alisyah dipelihara ibunya sampai menanjak besar. Alisyah adalah anak yang pintar. Kalau ada pertandingan bermain selalu menang. Karena itulah teman-teman sepermainan yang bertanding dengan dia menjadi sakit hati. Mereka mengatakan, bahwa Alisyah adalah anak yang tidak mempunyai bapak.
Karena itulah Alisyah tergesa-gesa pulang ke rumah dan menanyakan perihal bapaknya. Ia sangat malu dikatakan anak tak berbapak. Di manakah bapaknya sekarang. Kalau mati di mana kuburnya, dan kalau masih hidup di mana tinggalnya.
Oleh ibunya diterangkan, bahwa bapak Alisyah sekarang berada di Buntul Linge sebagai raja di sana. Jika Alisyah ingin menjumpai bapaknya, ibunya mengizinkan dan sebagai tanda Alisyah dibekali sebuah cincin yang diberikan Genali dahulu. Alisyah menyusul ayahnya ke Buntul Linge.
Di Buntul Linge ia diterima oleh semua keluarga dengan baik. Terutama ibu yang dijumpainya sangat senang kepadanya. Bahkan mengkhitankan anaknya bertiga sekaligus. Ketika akan dikhitankan ketiga anak itu dicoba. Siapakah di antara ketiganya yang tepat kelak menjadi raja. Secara bergiliran di atas kepala mereka diletakkan topi kerajaan.
Ternyata di antara ketiganya Alisyahlah yang serasi dengan topi itu. Maka ditetapkanlah, bahwa yang menggantikan Genali kelak ialah Alisyah.
Setelah ditetapkan siapa yang akan menjadi pengganti raja maka khitanan pun dilaksanakan. Salah satu di antara mereka ialah Joharsyah tidak termakan pisau. Karena malu ia lari ke daerah Batak.
Setelah Genali meninggal, Alisyahlah yang memerintah. Dia adalah seorang raja yang arif dan bijaksana. Rakyat bertambah makmur.
Namun demikian, ia teringat kembali ke Kutaraja. Ia ingin kembali. Alisyah pulang ke Kutaraja dan memerintah di sana, dan sebagai gantinya di Buntul Linge, memerintah Joharsyah. Tersebutlah di negeri lain, ketika pulau Sumatra telah timbul di permukaan air.
Kisah pertama ialah Raja Johor yang mempunyai dua orang putra, yang sulung bernama Muria dan yang bungsu bernama Sengeda. Ketika keduanya sedang bermain layang-layang datang angin kencang, hingga membawa mereka ke sebuah tempat bernama Senile.
Kisah kedua ialah Muria dan Sengeda ialah anak seorang petani yang disuruh ayahnya mencari itik yang hilang. Harus dicari sampai ketemu. Mereka tidak menemukan itik bahkan mereka terdampar ke Senile. Di sana mereka diterima raja Senile, yang bernama Muyang Kaya.
Muyang Kaya menanyakan asal kedua anak itu. Tapi mereka menjawab kami tidak mempunyai orang tua. Raja Serule mereka anggap sebagai orang tuanya.
Raja Serule sangat sayang kepada keduanya dan dipelihara seperti anak sendiri.
Diceritakan pula bahwa dari Buntul Linge raja Joharsyah selalu melihat cahaya dari arah Serule. Karena itu ia ingin mengetahuinya. Ia sendiri berangkat ke Serule dan menanyakan sebabnya. Penyebab cahaya itu ternyata adalah Muria dan Sengeda. Karena itulah raja Linge meminta salah satu di antara keduanya maka ditetapkan untuk raja Linge ialah Muria. Dalam beberapa waktu dia memelihara anak itu sebagai anak raja.
Tetapi ketika raja Joharsyah mendengar kabar daripada ulama dan cerdik pandai bahwa anak itu kelak akan menjadi raja yang besar, maka raja Linge berpikir bahwa anak ini akan menghilangkan keturunannya menjadi raja.
Ia berniat akan membunuhnya, di Kala Singuk Samarkilang. Raja Linge juga meminta kepada raja Serule untuk membunuh Sengeda dengan alasan yang sama. Tapi raja Serule tidak mau melaksanakannya, bahkan raja Serule membohongi raja Linge beberapa kali.
Yang pertama ketika raja Serule menunjukkan bahwa kuburan yang sengaja dibuatnya. Ketika digali ternyata bukan Sengeda, tetapi kucing. Tempat itu sekarang bernama Buntul Kucing. Yang kedua ialah ketika raja Serule membunuh seekor beruang …, yang digantung di atas kayu dibuatnya menyerupai Sengeda.
Raja Linge akhirnya tahu juga. Tempat itu sekarang bernama genting Telkah. Tapi dengan peristiwa ini raja Muyang Kaya dapat menginsafkan raja Joharsyah.
Sebagai raja pengganti, Joharsyah lalu bermupakat dengan raja Serule mengirim Upeti (cap usur) ke Kutereje.
Ketika Raja Serule mengantar upeti, Sengeda juga ikut ke Kutaraja. Pada saat raja Joharsyah dan raja Serule menyerahkan upeti, Sengeda menggambar seekor gajah. Gajah itu seolah-olah hidup. Ketika raja Alisyah melihatnya, beliau bertanya, kepada yang hadir. Dan tak seorang pun dapat menjawab. Lalu Sengedalah yang menerangkan bahwa ini adalah gambar seekor gajah putih yang banyak hidup di Samarkilang.
Raja Alisyah berpesan pada upeti yang akan datang, raja Serule dan raja Linge harus membawa gajah putih. Raja Linge sangat marah. Yang dapat menangkap gajah itu hanyalah Sengeda. Kabarnya gajah putih itu adalah penjelmaan roh abangnya Muria.
Gajah putih ditangkap dekat kuburan Muria di Samarkilang. Pada beberapa tempat gajah itu terlepas secara aneh misalnya di Timang Gajah dan di Calung. Dan pada saat membangunkan dari kubangan harus dinyanyikan diiringi tari diberi bedak dan mungkur, sehingga sampai sekarang ada Pengulu Bedak, Pengulu Mungkur serta Pengulu Bujang.
Raja Linge tak dapat menunaikan tugasnya membawa gajah putih di Kutaraja karena hewan itu mengamuk. Gajah mencari Raja Linge dan ingin dibunuhnya. Raja Linge bersembunyi di Krueng Daroi.
Karena itu Raja Alisyah heran, dan bertanya kepada Sengeda, engapa gajahmu bisa bertindak aneh. Sengeda menjawab bahwa raja Linge berbuat salah membunuh orang yang tidak bersalah. Raja Alisyah bertindak, raja Linge dipecat: Bawar (tanda kebesaran) diambil diserahkan kepada Sengeda. Sengeda diberi kerajaan di Bukit.
Kabar ini tersebar luas, sampai ke Linge sendiri dan neneknya Datu Beru.
Datu Beru datang ke Banda untuk meminta Bawar, tapi dijawab Raja Alisyah bahwa, bawar itu sudah diberikan kepada yang berhak tidak dapat dikembalikan lagi. Sebagai gantinya dibuat bawar tiruan. Datu Beru kembali, ketika sampai di Tunyang, ia meninggal dunia.Sengeda memerintah sangat adil. Dia adalah raja yang bijaksana. kami tidak mempunyai orang tua. Raja Serule mereka anggap sebagai orang tuanya.
Raja Serule sangat sayang kepada keduanya dan dipelihara seperti anak sendiri.
Diceritakan pula bahwa dari Buntul Linge raja Joharsyah selalu melihat cahaya dari arah Serule. Karena itu ia ingin mengetahuinya. Ia sendiri berangkat ke Serule dan menanyakan sebabnya. Penyebab cahaya itu ternyata adalah Muria dan Sengeda. Karena itulah raja Linge meminta salah satu di antara keduanya maka ditetapkan untuk raja Linge ialah Muria. Dalam beberapa waktu dia memelihara anak itu sebagai anak raja.
Tetapi ketika raja Joharsyah mendengar kabar daripada ulama dan cerdik pandai bahwa anak itu kelak akan menjadi raja yang besar, maka raja Linge berpikir bahwa anak ini akan menghilangkan keturunannya menjadi raja.
Ia berniat akan membunuhnya, di Kala Singuk Samarkilang. Raja Linge juga meminta kepada raja Serule untuk membunuh Sengeda dengan alasan yang sama. Tapi raja Serule tidak mau melaksanakannya, bahkan raja Serule membohongi raja Linge beberapa kali.
Yang pertama ketika raja Serule menunjukkan bahwa kuburan yang sengaja dibuatnya. Ketika digali ternyata bukan Sengeda, tetapi kucing. Tempat itu sekarang bernama Buntul Kucing. Yang kedua ialah ketika raja Serule membunuh seekor beruang …, yang digantung di atas kayu dibuatnya menyerupai Sengeda.
Raja Linge akhirnya tahu juga. Tempat itu sekarang bernama genting Telkah. Tapi dengan peristiwa ini raja Muyang Kaya dapat menginsafkan raja Joharsyah.
Sebagai raja pengganti, Joharsyah lalu bermupakat dengan raja Serule mengirim Upeti (cap usur) ke Kutereje.
Ketika Raja Serule mengantar upeti, Sengeda juga ikut ke Kutaraja. Pada saat raja Joharsyah dan raja Serule menyerahkan upeti, Sengeda menggambar seekor gajah. Gajah itu seolah-olah hidup. Ketika raja Alisyah melihatnya, beliau bertanya, kepada yang hadir. Dan tak seorang pun dapat menjawab. Lalu Sengedalah yang menerangkan bahwa ini adalah gambar seekor gajah putih yang banyak hidup di Samarkilang.
Raja Alisyah berpesan pada upeti yang akan datang, raja Serule dan raja Linge harus membawa gajah putih. Raja Linge sangat marah. Yang dapat menangkap gajah itu hanyalah Sengeda. Kabarnya gajah putih itu adalah penjelmaan roh abangnya Muria.
Gajah putih ditangkap dekat kuburan Muria di Samarkilang. Pada beberapa tempat gajah itu terlepas secara aneh misalnya di Timang Gajah dan di Calung. Dan pada saat membangunkan dari kubangan harus dinyanyikan diiringi tari diberi bedak dan mungkur, sehingga sampai sekarang ada Pengulu Bedak, Pengulu Mungkur serta Pengulu Bujang.
Raja Linge tak dapat menunaikan tugasnya membawa gajah putih di Kutaraja karena hewan itu mengamuk. Gajah mencari Raja Linge dan ingin dibunuhnya. Raja Linge bersembunyi di Krueng Daroi.
Karena itu Raja Alisyah heran, dan bertanya kepada Sengeda, engapa gajahmu bisa bertindak aneh. Sengeda menjawab bahwa raja Linge berbuat salah membunuh orang yang tidak bersalah. Raja Alisyah bertindak, raja Linge dipecat: Bawar (tanda kebesaran) diambil diserahkan kepada Sengeda. Sengeda diberi kerajaan di Bukit.
Kabar ini tersebar luas, sampai ke Linge sendiri dan neneknya Datu Beru.
Datu Beru datang ke Banda untuk meminta Bawar, tapi dijawab Raja Alisyah bahwa, bawar itu sudah diberikan kepada yang berhak tidak dapat dikembalikan lagi. Sebagai gantinya dibuat bawar tiruan. Datu Beru kembali, ketika sampai di Tunyang, ia meninggal dunia.
Sengeda memerintah sangat adil. Dia adalah raja yang bijaksana.
SEJARAH YANG TERTINGGAL DI GAYO
Posted by Unknown
Posted on 16.44
with No comments
SEJARAH YANG TERTINGGAL DI GAYO
(KERAJAAN LINGE)
(KERAJAAN LINGE)
"Cap Stempel Reje Linge"
PENDAHULUAN
Fhoto di atas adalah sebagian bukti yang tidak jelas keberadaannya, yang merupakan "peninggalan Kerajaan Linge", ada lagi peninggalan Kerajaan Linge konon orang desa setempat mengatakan bahwa rumah adat pitu ruang (tujuh ruang) itu adalah tempat tinggal Kerajaan Linge dari Raja Linge I-XIII, tapi ini semua di dapatkan berdasarkan hasil wawancara saja. Pertanyaan yang mungkin timbul salah satu dari kita adalah, siapakah raja yang I, II, III dan seterusnya sampai ke XIII tersebut yang pernah menjadi raja di kerajaan linge itu sendiri? Siapa yang harus di salahkan? Pemerintah, Sejarawan, Tokoh Masyarakat, atau orang tua terdahulu? Semua benar, mengapa demikian? Buktinya:
- Pemerintah kurang memperhatikan sejarah, bisa dilihat dari tempat kantor kerja pemerintah Aceh Tengah, contohnya di kantor Bupati Aceh Tengah, di kantor ini hampir setiap sudut ruangan tidak ada yang bercorak bangunan Gayo, Misal Kerawang Gayo. Di daerah Pematang Siantar, setiap kantornya itu ada corak dari pada adat bangunan kantor tempat mereka kerja. Sebab itulah kota Pematang Siantar menjadi terjaga dan banyak di minati oleh wisata-wisatawan asing datang kesana, Pertanyaannya adalah mengapa kita tidak bisa?.
- Sejarawan juga kurang spesifik dalam hal ini, pasalnya sejarawan kurang mengkaji lebih dalam tentang Kerajaan Linge, akibat dari pada hal tersebut, semua orang yang ingin mengkaji tentang Kerajaan Linge ini menjadi tidak berminat, ini lah yang terjadi pada saat sekarang ini, semua generasi penerus tidak sedikit yang mau meneliti lebih dalam tentang hal ini, tapi referensi dari Kerajaan Linge ini minim, kalaupun ada, itu tidak dijadikan sumber utama, karena bukti-bukti dari referensi atau sumber itu hanya kebanyakan dari hasil wawancara saja.
- Tokoh masyarakat, terkadang kita harus selalu menanyakan tentang apa saja yang terjadi di masyarakat kita, yang selalu harus di korelasikan dengan tokoh masyarakat kita. Misalnya saja dalam hal adat, ada pesta pernikahan, yang selalu di hadiri oleh tokoh masyarakat dimana dia berdomisili, tetapi akankah tokoh masyarakat itu mengerti bagaimana dengan adat gayo yang sebenarnya? Akankah Tokoh masyarakat itu mengerti sejarah adat pernikahan gayo? Inilah yang seharusnya dilakukan oleh tokoh masyarakat kita, yang mampu memperkenalkan sejarah lebih banyak kepada masyarakatnya.
Pada hakikatnya suatu negara, atau suku bangsa itu maju dengan mengerti akan jati diri mereka. Dewasa ini kita sering mendengar dari kalangan ilmuan sains yang mengatakan bahwa sejarah tidak memiliki arti penting dalam ilmu manapun, mereka membuktikan dengan tidak adanya manfaat yang diberikan oleh ilmu sejarah di dalam berbagai bidang ilmu pada saat ini, terlebih lagi jaman sekarang telah mengikuti perkembangannya dengan ilmu pengetahuan yang serba canggih melalui media dunia maya yang banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dan perkembangan jaman itu sendiri. Hal ini di akibatkan oleh kurangnya peranan dari kalangan sejarawan atau orang-orang terdahulu yang mengimplementasikan sejarah itu sendiri. Padahal, apabila kita tinjau dari beberapa pandangan mengenai arti pentingnya ilmu sejarah itu sendiri adalah :
Dari kedua contoh diatas kita seharusnya mengikuti jejak-jejak dari pada sejarah tersebut. Yang mana seyogiayanya kita mengeratkan agama kita agar kita tidak dapat lagi di kuasai oleh penjajahan yang tidak nampak jelas jika di pandang melalui pandangan kasat mata. Karena dengan agama lah kita dapat menghambat datangnya penguasa-penguasa yang memandang sebelah mata kepada kita.
- Ilmu sejarah dapat menyadarkan kita kepada jaman terdahulu yang sangat maju dan berkembang dari berbagai bidang, contohnya saja pada jaman penjajahan kolonial Belanda, bangsa Belanda sendiri sangat sulit menguasai daerah Aceh sendiri, hal ini di sebabkan oleh orang-orang Aceh sendiri yang memegang erat agamanya sendiri, hal itulah yang menyebabkan penajajahan kolonial Belanda lama menguasai Aceh.
- di nasional sendiri kita pernah menguasai sebagian Asia, yaitu dengan kerajaan Majapahit, yang dengan semboyan palapa-nya.
Kemudian dari kerajaan Majapahit kita selayaknya selalu membuat semboyan atau “visi-misi” istilah sekarang yang membuat kita berpegang teguh dengan tujuan tersebut untuk mencapai suatu tujuan dalam berbagai hal, baik dalam hal pendidikan, maupun dalam hal politik dan lainnya.
Untuk mencoba membuat referensi yang "detail" mengenai Kerajaan Linge itu sangatlah sulit, karena amat sedikitnya referensi atau sumber mengenai Kerajaan Linge itu sendiri. Kemudian timbul pertanyaan "Mengapa hal itu bisa terjadi hal seperti itu? Sehingga membuat binggung generasi penerus dalam memberikan penjelasan tentang jati diri dari suku Gayo itu sendiri!".
Suatu titipan bagi generasi muda yang harus mengungkap bagaimana sejarah KerajaanLinge itu sebenarnya, apakah benar dengan adanya Kerajaan Linge itu? Semua kalangan harus mengupas tuntas yang menyangkut hal ini, karena masalah ini adalah masalah jati diri suku bangsa gayo itu sendiri. Dalam hal ini kembali kita ingat akan kata pahlawan kita Jenderal Sudirman,"Tidak ada kemenangan kalau tidak ada kekuatan, tidak ada kekuatan kalau tidak ada persatuan dan persatuan itu harus disertai dengan silaturrahmi. Maka dari pernyataan tersebut, bisa dikutip, untuk membuat suatu pernyataan, kita harus menyatukan perbedaan pendapat dalam konteks Kerajaan Linge ini, tidak boleh mengutamakan pendapat suatu individu untuk di jadikan referensi atau sumber yang utama.
Sangat sulit untuk membuat suatu referensi tentang Kerajaan Reje Linge, pasalya semua ini di akibatkan oleh kurangnya sumber-sumber tentang Kerajaan Linge itu sendiri. Sampai saat ini orang-orang gayo sendiri sangat kurang dalam menulis tentang Kerajaan Linge itu sendiri. Jika berbicara lebih luas mengenai Kerajaan Linge, maka harus banyak juga melakukan penelitian, baik penelitian secara kualitatif, maupun kuantitatif.
Sejarah kerajaan linge ini adalah salah satu hasil penipuan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa yang secara turun temurun mengelapkan kita untuk bangkit dalam mendalami asal kejadian dari kerajaan linge itu sendiri yang merupakan juga asal dari pada suku gayo itu sendiri.
Adanya Kerjaan Linge itu betul ada, tapi yang diragukan sekarang adalah sejarah dari pada Kerjaan Linge itu simpang siur. Dengan adanya beberapa bukti yang sampai saat ini masih ada, kita mempercayai dinasti Kerjaan Linge itu ada, salah satu pecahanya adalah samudra pasai (pase) yang merupakan keturunan Raja Lingga (linge).
Kata linge terdiri dari dua kata; "ling" dan "nge". "Ling" dalam bahasa Indonesia artinya adalah suara, sedangkan "nge" dalam bahasa Indonesia artinya adalah nya, Jadi, apabila di gabungkan antara dua kata tersebut adalah suaranya. Yang maknanya adalah suaranya ada, tetapi manusia-nya tidak jelas, begitulah makna Kerjaan Linge sekarang ini. Artinya suara orang atau masyarakat setempat bahwa mengatakan Kerjaan Linge itu ada, tetapi Bukti-Bukti peninggalannya tidak ada. Kalaupun ada, itu semua berarti hanya sedikit dari yang diharapkan.
Latar Belakang Kerajaan Linge
Kerajaan Linge adalah sebuah Kerjaaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) mempunyai empat orang anak yaitu: Empu Beru, Sibayak Linge, Merah Johan, Reje Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M).
Pada saat Adi Genali membangun Negeri Linge, maka pada saat bersamaan juga diberikan pusaka tersebut kepadanya yang diberikan gelar "Cik Serule (Paman Serule)". Nama serule disini adalah salah satu perkampungan yang ada di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah.
Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri Linge pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri yang bernama Syekh Sirajuddin yang bergelar Cik Serule". Menjadi suatu perselisihan dan kebinggungan yang mendalam dari diri saya yang timbul, disebabkan oleh banyaknya perbedaan-perbedaan pendapat dari semua apa yang telah saya dapatkan dan saya baca.
Dari situs http://kenigayo.wordpress.com/2010/02/21/didong-dimulai-sejak-jaman-reje-linge-xiii/, saya membaca tentang didong gayo yang menurut Ismuha, (13/7), Kabid kebudayaan Pemkab Bener Meriah, kesenian didong dimulai sejak Reje Linge ke 13. Kemudian, di sini timbul pertanyaan yang besar bagi kita, lantas kapan Reje Linge I-XII itu terjadi?
Untuk membicarakan suatu kenyataan sejarah, maka tidak terlepas dengan bukti-bukti yang harus dikaitkan dalam penulisan. Dari referensi di atas menurut dapat disimpulkan adanya Kerajaan Linge itu sekitar 60%, mengapa demikian? Karena ilmu sejarah itu bisa di buktikan dengan 4 hal, 1) Fakta (bukti Peninggalan), 2) Waktu, 3) dimana terjadinya kejadian tersebut? 4) Wawacara dengan orang yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Dengan demikian Semua kejadian sejarah, di perlukan bukti yang kuat untuk menjadikannya suatu sejarah yang sah.
Kerajaan Linge hingga saat ini memang masih di masukkan dalam kemisteriusan dunia sejarah, terutama di daerah Aceh Tengah sebagai asal dari Kerajaan Linge itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan belum di resmikannya hingga saat ini Kerajaan Linge sebagai Kerajaan yang permanen di Aceh Tengah.
Untuk mempersatukan bangsa Indonesia, masing-masing individu dari suku bangsa tersebut harus mengetahui jati diri mereka itu sendiri, tentunya semua itu harus dengan mengerti sejarah dari suku bangsa itu sendiri. Dengan dimengertinya sejarah dari pada suku bangsa itu, maka individu tersebut akan bersatu, itu semua di sebabkan oleh mengerti dengan apa-apa yang harus mereka lakukan di dalam kehidupan lingkungan masyarakat mereka sendiri. Mengetahui dan mengenal asal usul suku bangsa sendiri maupun suku bangsa orang lain merupakan bentuk kepedulian terhadap bangsa yang sedang di duduki ini. Dengan demikian, individu dapat menghargai dan mempelajari lebih tentang dari suku sendiri maupu suku orang lain, yang tujuannya adalah mempererat kebudayaan Indonesia.
Kerajaan Linge hingga saat ini memang masih di masukkan dalam kemisteriusan dunia sejarah, terutama di daerah Aceh Tengah sebagai asal dari Kerajaan Linge itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan belum di resmikannya hingga saat ini Kerajaan Linge sebagai Kerajaan yang permanen di Aceh Tengah.
Untuk mempersatukan bangsa Indonesia, masing-masing individu dari suku bangsa tersebut harus mengetahui jati diri mereka itu sendiri, tentunya semua itu harus dengan mengerti sejarah dari suku bangsa itu sendiri. Dengan dimengertinya sejarah dari pada suku bangsa itu, maka individu tersebut akan bersatu, itu semua di sebabkan oleh mengerti dengan apa-apa yang harus mereka lakukan di dalam kehidupan lingkungan masyarakat mereka sendiri. Mengetahui dan mengenal asal usul suku bangsa sendiri maupun suku bangsa orang lain merupakan bentuk kepedulian terhadap bangsa yang sedang di duduki ini. Dengan demikian, individu dapat menghargai dan mempelajari lebih tentang dari suku sendiri maupu suku orang lain, yang tujuannya adalah mempererat kebudayaan Indonesia.
ASAL KATA LINGE
Kata linge terdiri dari dua kata; "ling" dan "nge". "Ling" dalam bahasa Indonesia artinya adalah suara, sedangkan "nge" dalam bahasa Indonesia artinya adalah nya, Jadi, apabila di gabungkan antara dua kata tersebut adalah suaranya. Yang maknanya adalah suaranya ada, tetapi manusia-nya tidak jelas, begitulah makna Kerjaan Linge sekarang ini. Artinya suara orang atau masyarakat setempat bahwa mengatakan Kerjaan Linge itu ada, tetapi Bukti-Bukti peninggalannya tidak ada. Kalaupun ada, itu semua berarti hanya sedikit dari yang diharapkan.
Latar Belakang Kerajaan Linge
Kerajaan Linge adalah sebuah Kerjaaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) mempunyai empat orang anak yaitu: Empu Beru, Sibayak Linge, Merah Johan, Reje Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M).
Pada saat Adi Genali membangun Negeri Linge, maka pada saat bersamaan juga diberikan pusaka tersebut kepadanya yang diberikan gelar "Cik Serule (Paman Serule)". Nama serule disini adalah salah satu perkampungan yang ada di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah.
Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri Linge pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri yang bernama Syekh Sirajuddin yang bergelar Cik Serule". Menjadi suatu perselisihan dan kebinggungan yang mendalam dari diri saya yang timbul, disebabkan oleh banyaknya perbedaan-perbedaan pendapat dari semua apa yang telah saya dapatkan dan saya baca.
Dari situs http://kenigayo.wordpress.com/2010/02/21/didong-dimulai-sejak-jaman-reje-linge-xiii/, saya membaca tentang didong gayo yang menurut Ismuha, (13/7), Kabid kebudayaan Pemkab Bener Meriah, kesenian didong dimulai sejak Reje Linge ke 13. Kemudian, di sini timbul pertanyaan yang besar bagi kita, lantas kapan Reje Linge I-XII itu terjadi?
Di situs lain dikatakan juga oleh Fajri, Kokasih Bakar dan Uwein mengatakan bahwa Reje Linge itu merupakan kekeberen istilah gayo dan berita rakyat dalam bahasa Indonesia, yang langsung mereka wawancarai dengan A. Djamil seorang Sejarawan Gayô.Dalam kekeberen ini diceritakan 2 Kerajaan yang merupakan asal dari Gayô yaitu Kerajaan Lingë dan Kerajaan Malik Ishaq. Kerajaan Lingë berdiri pada abad ke 10, sedangkan Kerajaan Malik Ishaq pada saat adanya Kerajaan Pérlak (abad ke 8 s.d. 12 M) dan Sri Wijaya (abad ke 6 s.d. 13, sedangkan masa kejatuhannya pada abad 12 M atau 13 M).Kerajaan Lingë berasal dari Kerajaan Rum atau Turki, asal kata Lingë berasal dari bahasa Gayô yang berarti Léng Ngé yang artinya suara yang terdengar. Raja Lingë I ini beragama Islam bernama Réjé Genali atau Tengku Kawe Tepat (Pancing yang lurus dalam bahasa Acih).Agama Islam yang dianut bisa dililhat dari bendera Kerajaan Lingë tersebut, dimana ada Syahadat di atas benderanya dan di bawahnya bernama 4 sahabat nabi, sedangkan warnanya belum diketahui karena sudah kusam, antara merah dan putih (bendera ini masih bisa dilihat dan disimpan di daerah Karô, sebagai pusaka dari anak salah satu Raja Lingë yang pergi ke Karô).
Raja Lingë mempunyai 4 anak, 3 laki-laki dan satu perempuan. seorang perempuan bernama Datu Beru, dan ketiga anak laki-lakinya bernama Djohan Syah, Ali Syah dan Malam Syah.Ketika besar khusus anak laki-lakinya akan disunat seperti halnya ajaran Islam, anak yang ke-3 bernama Ali Syah tidak bisa disunat karena kemaluannya tidak dimakan pisau. Hal ini tentu saja membuat malu. Hal ini menyebabkan ia meminta ijin kepada Raja Lingë untuk pergi ke daerah Karô.
Walau pada mulanya Raja tidak mengijinkan namun akhirnya dengan berat hati sebelum kepergian mereka dibagikan pusaka untuk anak laki-lakinya yaitu Kôrô Gônôk, Bawar, Tumak Mujangut, Mérnu dan élém (Bendera Pusaka). Sedangkan Datu Béru memegang kunci khajanah Kerajaan Lingë.
Ali Syah, anak ke-3 Raja Lingë I
Ali Syah bersama rombongan berangkat menuju Karô menuju daerah yang disebut Blang Munté. Pada daerah tersebut Ali Syah bersama rombongannya memutuskan untuk berhenti dan menetapkan bahwa tempat itu sebagai tempat ia terakhir bersama rombongan.
Tinggallah Ali Syah seorang diri selama berbulan-bulan tinggal disitu, dalam sebuah kesempatan ketika kemudian mencari ikan di Uih Kul Renul, bertemu dengan gadis dan bujang sedang menyekot (mencari ika) yang kemdian diketahui berasal dari negeri Pak-Pak. kemudian menjadi teman dan bergaul, akhirnya menikah dengan beberu pak-pak tersebut sampai berketurunan. Ali Syah pun akhirnya belajar bahasa dan hidup disana.
Terdapat sebuah kisah yang menarik yaitu ketika suatu saat Bélah dari Ali Syah yang sudah tua tersebut akan pergi bersawah yang sebelumnya diadakan kenduri (dinamai kenduri Mergang merdem). Acara kenduri tersebut diadakan agak jauh dari tempat Ali Syah tinggal sehingga keturunannya atau cucunya ditugaskan untuk memberikan nasi beserta ikan kepadanya. Ternyata ketika sampai di sana didapatinya ikannya hanya tinggal tulang belulang saja karena telah dihabisi oleh anak cucunya, mendengar ini ia amat murka dan mengutuk semua (kélém-lémén) anak cucu keturunannya menjadi batu semua, semua nya masih bisa dilihat buktinya disana di Blang Munté perbatasan Karô dan Alas.
Namun, ternyata ada yang lolos dari kutukkannya seorang aman mayak (pengantin Pria), inén mayak (Pengantin Wanita) yang sedang hamil dan satu lagi adiknnya inén mayak tersebut. Melihat tersebut Aman Mayak pergi meninggalkan daerah tersebut untuk menceritakan hal ini kepada Raja Lingë. Mendengar hal tersebut segera dikirimkan rombongan kesana untuk mencari tahu atau menguburkan bila ada yang meninggal.
Setelah lantas diketemukan pohon kelapa yang menandakan ada kampông, yang disebut dengan Kampung Bakal, mereka ingin kesana karena lapar. Saat itu di pinggir sungai tersebut terlihat Giôngén (Kijang) yang sedang minum, mereka mecoba menangkap Giôngén tersebut untuk kemudian membantu mereka berdua melewati sungai tersebut. Dalam suatu ketika mereka hampir terlepas dari pegangan kepada Giôngen tersebut, sehingga Inen Mayak yang sedang mengandung tersebut mengucapkan dalam bahasa Karô ‘ngadi ko lao’, atau ‘berhentilah kau air’, sehingga sampai sekarang ada pusaran air disana. Dan karena ada kejadian inilah orang-orang Gayô disana dilarang memakan daging Giôngén.
Sesampai diseberang sungai Inén Mayak tersebut melahirkan, karena kelelahan iya dibawa arus air sungai (Wih Kul) tersebut. Sedangkan anaknya diselamatkan oleh adiknya di pinggir sungai. Pada saat anak tersebut kehausan datanglah seekor Kerbau atau Kôrô Jégéd, yang kemudian adiknya membiarkan anak kakaknya untuk menyusu terhadap kerbau tersebut.
Akhirnya mereka berdua ditangkap oleh orang kampông tersebut, saat itu mereka sedang mencari Kôrô jégéd (Kerbau berwarna putih Krim) punya Raja yang hilang. Ketika menemukan kerbaunya sedang menyusui seorang anak manusia maka orang-orang Kampung tersebut menganggap bahwa Kerbau keramat tersebut telah melahirkan.
Mereka lantas melaporkan kepada Raja Bakal, lantas oleh Sang Raja anak tersebut dianggp sebagai penerusnya, karena ia sampi saat itu tidak mempunyai seorang anakpun. Adik dari Inen Mayak tersebut di tahan sekaligus memelihara anak kakaknya yang sudah tiada.
Dalam keadaan tersebut sampai rombongan Réjé Lingë. Ketika sampai di kampungnya Aman Mayak mereka sudah tidak menemukan siapa-siapa lagi, maka mereka pun berusaha mencari istri dan adik istri dari Aman Mayak tersebut.
Mereka pun akhirnya sampai di perkampungan Bakal tersebut, lantas merekapun mendengar berita tentang keganjilan-keganjilan yang terjadi saat itu. Mereka memutuskan untuk dapat menunggu lebih lama untuk mencari informasi. Sampai akhirnya bertemu dengan adik dari istrinya dan bercerita tentang desas-desus tersebut serta kebenaran bahwa sesungguhnya anak dari anak Kôrô jégéd sebagai anak Aman Mayak atau keturunan Raja Lingë.
Mengetahui hal tersebut rombongan dari Lingë menghadap Réjé Bakal, menyampaikan tujuan ke kampông di sini, kemudian menceritakan bahwa anaknya Kôrô Jégéd itu adalah anaknya atau cucunya Réjé Lingë, bahkan mengatakan ada saksi dari adiknnya istrinya. Untuk mengambil keputusan maka diambil keputusan akan ada perkelahian antara Pang untuk bersitengkahan (bacok-bacokan). Pang Sikucil, dan Pang Réjé Bakal bertengkah, panglima Réjé Bakal selalu bergeser bila ditengkah. Sedangakan Pang Sikucil dari Lingë tidak bergeser sedikit pun. Zaman terebut setelah bertengkah maka bersesebutan antara Réjé Bakal dan Réjé Lingë. Akhirnya anaknya ditinggal di Kerajaan Bakal tersebut dengan syarat nama Lingë tersebut jangan ditinggalkan, pagi hari pelaksanaannya. Dukun Kul (Paranormal Hebat), mengeturunkan si Bayak Lingë Karô. Inilah yang menyebabkan adanya hubungan antara Réjé Lingë Di Gayô dan Réjé Lingë (Lingga) di Karô.
Djohan Syah, Anak ke 2 Réjé Lingë
Sepeninggal adiknya Djohan Syah juga ingin pergi mengaji ke Pérlak,Weh Ben, atau Bayeun (dalam bahasa Aceh) di Kuala Simpang. Ingin belajar kepada Tengku Abdullah Kan’an dari Arab, seorang Tengku yang terkenal. Cukup lama Djohan Syah menuntut ilmu hingga mencapai gelar Mualim.
Ketika jumlah muridnya cukup 300 orang muridnya Ia menanyakankepada murid-muridnya bahwa ia berencana akan mencoba mengembangkan Agama Islam ke Kuté Réjé, yang pada waktu itu masih belum Islam.
Ketika rombongan Tengku tersebut sampai di sana Kutéréjé sedang dalam peperangan antara Raja-Raja Besar yang ada dengan utusan dari Nan King atau China yang bernama Nian Niu Lingkë , Pétroneng. Namun kekuatan dari Puteri Cina tersebut tidak terlawan karena ada ilmu sihir, sehingga banyak Raja yang berhasil dikuasai dan takluk kepada mereka, sampai akhirnya sampai kesebuah Kerajaan di Langkrak Sibreh.
Ketika tiba rombongan tersebut ke daerah tersebut Tengku menawarkan bantuannya kepada ke Réjé Lamkrak dengan syarat mereka diberikan tempat khusus serta meminta syahadat dari Raja Langkrak. Dengan alasan tersebut akhirnya masuk Islam Raja Langkra.
Setelah itu akhirnya ia melihat siapa yang akan diangkat menjadi Panglima Perang, satu per satu dilihat hingga akhirnya sampai kepada Djohan Syah, yang akhirnya menjadi Panglima Perang saat itu. Lantas diberi bekal oleh Tengku bekalnya, juga kepada semua murid-muridnya untuk berperang.
Ke 300 orang ini kelak disebut sebagai marga Suke Leretuh atau suku 300, asal mulanya dari salah satu Bangsa Aceh ini.
Setelah itu Djohan Syah memimpin peperangan dengan berbekalkan ilmu Al quran sehingga akhirnya Puteri dari Cina tersebtu akhirnya berhasil dikalahkan, Ratu Petromenk kalah, sehingga ia mundur pada basis pertahannya terakhir di Lingkë.
Melihat hal tersebut Djohan Syah merubah strateginya dalam memenangkan peperangan dengan memblockade saja benteng terakhir ini, hingga Putri Neng meminta damai. Dalam perjanjian damainya Tengku Abdullah megatakan mau berdamai dengan syarat Putri Neng mengucapkan syahadat.
Putri Neng mengatakan sanggup akan tetapi dilakukan secara rahasia. Akhirnya di tengah laut mereka berdamai, ntah kenapa setelah pedamaian terjadi dan sudah memandikan Puteri Cina tersebut Tengku menangis, ia merasa belum sempurna perdamaian sebelum dilangsungkan pernikahan antara Djohan Syah dengan Putri Neng. Lalu dinikahkan Keduanya Oleh Tengku Kan’an.
Kemenangan tersebut megah sampai dengan kerajaan Melayu manapun sehingga diangkat menjadi Sultan Aceh yang pertama bergelar Djohan Syah. Sehingga Raja-raja yang bergabung disana mengangkat menjadi Raja Kutéréjé I Djohan Syah, dan menjadikan Agama Islam berkembang dengan pesat disana.
Malam Syah dan Datu Beru tetap bersama Raja Lingë I, Malim Syah akan meneruskan Pemerintahan Kerajaan Lingë sedangkan Datu Beru akan menjadi pemegang kunci rahasia Kerajaan Lingë.
Kerajaan Malik Ishaq
Islam pertama kali datang dari Ghujarat dan Arab yang singgah di Perlak, sehingga menjadi salah satu Kerjaan Islam di Pesisir Utara Sumatera.
Sewaktu terjadi perangan Kerajaan Perlak dengan Sriwijaya dari Palembang sampai 20 tahun. Sultan Malik Ishaq waktu itu ia menyuruh mengungsikan perempuan dan anak-anak, ada suatu negeri yang ada Kuté-kuté yang akhirnya bernama dengan Ishaq, daerah Ishaq sekarang.
Anak Malik Ishaq adalah Malik Ibrahim, anaknya kemudian adalah lantas Muyang Mersah. Kuburannya sampai sekarang tempatnya masih ada akan tetapi tidak bisa diketahui lagi kuburannya karena sudah diratakan dengan tanah, namun telaga muyang mérsah masih ada.
Muyang Mérsah menpunyai 7 orang anaknya yaitu Mérah Bacang, Mérah Jérnah, Mérah Bacam, Mérah Pupuk, Mérah Putih, Mérah Itém, Mérah Silu dan yang bungsu Mérah Mégé. Namun Mérah Mégé adalah anak kesayangan dari kedua orang tuanya yang kerap kali membuat iri dari adik-adiknya, sehingga mereka merencanakan akan membunuhnya.
Kesempatan itu datang pada saat merayakan Maulid Nabi di Ishaq maka pihak perempuannya menyiapkan kreres (lemang) sedangkan laki-lakinya mungarô (berburu) untuk lauk dari kreres tersebut. Akhirnya si bengsu diajak ngarô untuk kemudian dibunuh, namun kakak-kakaknya ternyat tidak sampai hati membunuh adiknya tersebut sehingga hanya dimasukkan ke Loyang datu. Mengetahui bahwa anak bungsunya hilang membuat marah orang tuanya.
Ketika Mérah Mégé ada di Loyang Datu ia ternyata mendapatkan makanan dari anjingnya yang bernama ‘Pase’. Melihat tuannya dimasukkan kedalam lubang oleh abang-abangnya anjing tesebut kemudian selalu mencarikan makanan untuk Mérah Mégé. Bahkan makanan yang diberikan kepadanya. Dibawanya ke Loyang Datu untuk kemudian diberikan kepada Mérah Mégé.
Keanehan atau keganjilan dari Pase ini tentunya akhirnya mendapat perhatian dari Muyang Mérsah, hingga akhirnya ia memutuskan untuk dapat mengikuti anjing tesebut dengan berbagai upaya, yaitu ketika memberikan makanan kepada anjing tersebut ia juga menaruh dedak sehingga kemanapun anjing tersebut akan meninggalkan jejaknya. Hingga akhirnya diketemukan Mérah Mégé tersebut. Yang kemudian dirayakan dengan besar-besaran oleh Muyang Bersah.
Kemudian Mérah Mégé menjagai pusaka, dan keturunannya tersebar diseluruh Aceh, Meulaboh, Aceh Selatan daerah Kluet, seluruh perairan diseluruh Aceh, didahului dengan nama Mérah.
Keenam Anak Muyang Mérsah
Keenam Saudara Mérah Mégé akhirnyua lari, pertama kali lari ke Ishaq karena malu. Namun begitu diketahui Raja dan kemudian akan disusul mereka lari kembali ke Tukél kemudian membuka daerah yang bernama Jagong, dikejar kembali sampai akhirnya ke Sérbé Jadi (Serbajadi Sekarang). Dikejar terus anaknya, karena rasa sayang, setelah rasa marahnya Raja tersebut hilang. Namun mereka sudah amat malu kepada ayahnya akhirnya mereka sepakat untuk berpisah dengan catatan akan menyebarkan Agama Islam pada daerah yang akan ditempatinya.
Mérah Bacang, si sulung, pergi ke batak untuk mengembangkan Islam ke daerah Barus, Tapanuli.
Yang ke-2 Mérah Jérnang ke Kala Lawé, Meulaboh.
Yang ke-3 Mérah Pupuk Mengembangkan agama Islam ke Lamno Déyé antara Meulaboh dan Kutéréjé.
Yang ke- 4 dan 5 Mérah Pôtéh Dan Mérah Itém di Bélacan, di Mérah Dua (sekarang Meureudu) masih ada kuburannya.
Yang ke-6 Mérah Silu ke Gunung Sinabung, Blang Kéjérén
Mérah Sinabung
Mérah Silu mempunyai seorang anak yang bernama Mérah Sinabung (Dalam bahasa Gayô Mérah Sinôbông). Mérah Sinambung ternyata lebih berwatak sebagai Panglima, sehingga hoby adalah mengembara. Sampai ia berada pada suatu daerah yang sedang berperang. Perang yang terjadi antaran Kerajaan Jémpa dan Samalanga. Kerajaan Jémpa waktu itu sudah beragama Islam, hingga akhirnya ia menawarkan bantuan kepada Raja Jempa tersebut dan berhasil memenangkan peperangan dengan Kerajaan Samalanga. Jasa baiknya tersebut akhirnya membuat Raja Jémpa menikahkan putrinya kepada Mérah Sinabung.,
Keduanya mempunya 2 orang anak yang bernama Malik Ahmad dan Mérah Silu. Setelah Mérah Sinabung wafat maka naiklah Malik Ahmad menjadi Raja Jempa, akan tetapi ada syak wasangka terhadapa Mérah Silu, karena ia lebih berbakat dan lebih alim serta lebih dicintai rakyatnya maka timbul kecemburuan yang terjadi.
Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan maka Mérah Silu akhirnya pergi ke daerah Arun, Blang Sukun, untuk menghabiskan waktunya ia bekerja sebagai pande emas, besi dan barang logam lainnya sedangkan malamnya ia mengajar mengaji.
Lama kelamaan orang sekitar menjadi mengenal Mérah Silu sebagai Mualim, tokoh masyarakat, akhirnya menjadi Réjé di Lhoksmawé. Sehingga kemudian ia diangkat menjadi Sultan Pase pertama atau disebut dengan Sultan Malikus Saleh. Sebutan daerahnya Pase merupakan sebutan yang diambil dari nama anjing yang telah menyelahamatkan Datunya, Mérah Mégé.
"Turun ni edet ari Pute Merhum (Reje Linge) Ukum ari Cek Serule". Ini penggalan Isi dari Pasal 1 dalam Naskah Tua berjudul "45 Pasal Edet Negeri Linge". Artinya kurang lebih: Reje Linge adalah yang pertama merumuskan mengenai Edet Gayo yang disusun bersama para ulama dan pemimpin Gayo pada saat itu (sekitar Tahun 450 Hijriah). Tentang Edet Gayo apa saja yang disusun oleh Reje Linge, bisa dibaca dalam naskah tua berjudul "45 Pasai Edet Negeri Linge", namun kira2 inti dari isi pasal2 tersebut adalah mengatur pemerintahan, Hukum dan norma2 sosial kehidupan bermasyarakat di Tanoh Gayo.
Sedangkan " Reje Musuket Sipet,Petue Musidik Sasat,Imem Muperlu Sunet,Rayat Genap Mupakat " berasal dari Sistem Sarak Opat. Sarak Opat merupakan sistem pemerintahan tradisional masyarakat Gayo. Sarak berarti lembaga atau unsur, sementara opat berarti empat. Empat unsur tersebut adalah Reje, Petue, Imem dan Rakyat. Nah, Maksud dari kalimat diatas kurang lebih, Negeri Linge bisa makmur dan sejahtera jika memiliki 4 unsur seperti Reje museket sipet (Raja yang Adil, dilihat dari konteks kekinian, Raja bisa berupa Bupati/kepala pemerintahan hingga yang terkecil), Petue musidik sasat (Cendikiawan yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas), Imem muperlu sunet (Imam memahami betul hukum Islam dan dapat menjadi tauladan untuk menjalankan yang Halal, dan menghindari yang haram) Rakyat genap mupakat (segala persoalan masyrakat diselesaikan dengan musyawarah).
Lebih jauh, mungkin bisa dibaca dalam buku "SARAK OPAT" dan Naskah Tua "45 Pasal Edet Negeri Linge"
Sedangkan " Reje Musuket Sipet,Petue Musidik Sasat,Imem Muperlu Sunet,Rayat Genap Mupakat " berasal dari Sistem Sarak Opat. Sarak Opat merupakan sistem pemerintahan tradisional masyarakat Gayo. Sarak berarti lembaga atau unsur, sementara opat berarti empat. Empat unsur tersebut adalah Reje, Petue, Imem dan Rakyat. Nah, Maksud dari kalimat diatas kurang lebih, Negeri Linge bisa makmur dan sejahtera jika memiliki 4 unsur seperti Reje museket sipet (Raja yang Adil, dilihat dari konteks kekinian, Raja bisa berupa Bupati/kepala pemerintahan hingga yang terkecil), Petue musidik sasat (Cendikiawan yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas), Imem muperlu sunet (Imam memahami betul hukum Islam dan dapat menjadi tauladan untuk menjalankan yang Halal, dan menghindari yang haram) Rakyat genap mupakat (segala persoalan masyrakat diselesaikan dengan musyawarah).
Lebih jauh, mungkin bisa dibaca dalam buku "SARAK OPAT" dan Naskah Tua "45 Pasal Edet Negeri Linge"
gerhana coklat
Posted by Unknown
Posted on 01.48
with No comments
gerhana coklat
a piece of me
Dongeng Sebelum Tidur
Sejak kecil, aku dan kakak-kakak serta adikku terbiasa mendengarkan
dongeng dari ibu dan ayah kami. Ibu menceritakannya saat menjelang
tidur bahkan sampai aku dewasa. Dongeng yang diceritakan ibuku lebih
banyak bertema nusantara semisal Bawang Merah dan Bawang Putih,
Sangkuriang, Malin Kundang, Batu Bertuah dan masih banyak lagi. Saat aku
beranjak remaja dan dewasa dan seiring itu ibuku pun lebih banyak
menceritakan cerita bertema religi dari kitab suci yang bukan merupakan
dongeng belaka.
Beda dengan ayahku, beliau lebih senang membelikan buku-buku bacaan, mulai dari dongeng HC Andersen yg bentuknya komik, cerita rakyat dalam bentuk komik dan buku, maupun buku-buku ilmu pengetahuan dasar dan biografi untuk anak-anak. Beliau membiasakan kami semua untuk senang membaca dan ibu membiasakan kami semua untuk senang membuat cerita (menulis) karena seringnya mendengar beliau bercerita.
Dari seluruh anak-anaknya yang berjumlah 7 orang tak ada satu pun dari kami yang tak senang membaca dan menulis. Terutama membaca. Rajinnya ayahku membelikan buku cerita, novel, dongeng, majalah anak-anak, koran dan buku-buku ilmu pengetahuan lainnya membuat aku terbiasa dengan bacaan. Tak heran kebiasaan itu terbawa terus sampai kami semua menjadi dewasa. Sampai usiaku 25 tahun, ayahku masih saja berlangganan majalah Bobo di rumah meski usia yg paling muda di rumahku adalah adikku (22 tahun). Kami menyenangi cerita anak-anak, cerita ringan bahkan ilmu pengetahuan yang terlihat sepele di majalah itu menjadi hal yang mengasyikkan untuk dibaca. Ayahku juga tak pernah berhenti untuk membelikan buku-buku cerita termasuk buku dongeng.
Kumpulan Dongeng Hans Christian Andersen yang sangat populer ini adalah buku dongeng terakhir yang dibelikan ayahku saat aku terakhir tinggal di Medan (sekitar tahun 2004). Cerita-ceritanya sangat populer dan sering dicetak ulang baik dalam bentuk kumpulan ataupun dalam bentuk cerita tunggal.
Kemarin, karena toko buku gramedia sedang ultah dan kasi diskon 25% untuk semua buku terbitan mereka yang sangat jarang terjadi, aku pun membeli kumpulan dongeng HC ANdersen dengan sampul yang berbeda
TErnyata setelah dibuka, isinya sama persis seperti buku dongeng yang dibelikan alm ayahku dulu, ada 7 cerita HC Andersen yang sangat populer di dalamnya, termasuk cerita Gadis Korek Api.
Sebelumnya sih aku sengaja membelikan enrico buku dongeng yang dibuat perkisah, dan macam-macam pengarangnya. Ada HC Andersen, Grimm, Perrault dan lainnya, tapi memang aku belum pernah membelikan dia DOngeng Klasik dari negeri sendiri. Entah kenapa dari dulu rasanya dongeng-dongeng nusantara itu kurang bagus cetakannya walaupun ada juga kumpulan dongeng nusantara yang bagus penampilannya. Tapi dibandingkan buku-buku dongeng dari luar, cerita rakyat nusantara seperti kurang menarik dari segi gambar dan penampilannya. Padahal aku ingin sekali memperkenalkan anakku pada kekayaan cerita rakyat yang juga beragam seperti Malin Kundang dan lain-lain itu. Atau aku aja kali ya yang belum nemu bukunya?
Oh iya, mungkin belakangan postinganku banyak yang seperti promosi ya bahkan postingan ini agak mempromosikan event di toko buku pula, tapi beneran koq baik postingan ini, yang sebelum ini bahkan yg sebelumnya lagi itu sama sekali gak dibayar lhooo .
Posted in curhat
| DitlyBeda dengan ayahku, beliau lebih senang membelikan buku-buku bacaan, mulai dari dongeng HC Andersen yg bentuknya komik, cerita rakyat dalam bentuk komik dan buku, maupun buku-buku ilmu pengetahuan dasar dan biografi untuk anak-anak. Beliau membiasakan kami semua untuk senang membaca dan ibu membiasakan kami semua untuk senang membuat cerita (menulis) karena seringnya mendengar beliau bercerita.
Dari seluruh anak-anaknya yang berjumlah 7 orang tak ada satu pun dari kami yang tak senang membaca dan menulis. Terutama membaca. Rajinnya ayahku membelikan buku cerita, novel, dongeng, majalah anak-anak, koran dan buku-buku ilmu pengetahuan lainnya membuat aku terbiasa dengan bacaan. Tak heran kebiasaan itu terbawa terus sampai kami semua menjadi dewasa. Sampai usiaku 25 tahun, ayahku masih saja berlangganan majalah Bobo di rumah meski usia yg paling muda di rumahku adalah adikku (22 tahun). Kami menyenangi cerita anak-anak, cerita ringan bahkan ilmu pengetahuan yang terlihat sepele di majalah itu menjadi hal yang mengasyikkan untuk dibaca. Ayahku juga tak pernah berhenti untuk membelikan buku-buku cerita termasuk buku dongeng.
Kumpulan Dongeng Hans Christian Andersen yang sangat populer ini adalah buku dongeng terakhir yang dibelikan ayahku saat aku terakhir tinggal di Medan (sekitar tahun 2004). Cerita-ceritanya sangat populer dan sering dicetak ulang baik dalam bentuk kumpulan ataupun dalam bentuk cerita tunggal.
Kemarin, karena toko buku gramedia sedang ultah dan kasi diskon 25% untuk semua buku terbitan mereka yang sangat jarang terjadi, aku pun membeli kumpulan dongeng HC ANdersen dengan sampul yang berbeda
TErnyata setelah dibuka, isinya sama persis seperti buku dongeng yang dibelikan alm ayahku dulu, ada 7 cerita HC Andersen yang sangat populer di dalamnya, termasuk cerita Gadis Korek Api.
Sebelumnya sih aku sengaja membelikan enrico buku dongeng yang dibuat perkisah, dan macam-macam pengarangnya. Ada HC Andersen, Grimm, Perrault dan lainnya, tapi memang aku belum pernah membelikan dia DOngeng Klasik dari negeri sendiri. Entah kenapa dari dulu rasanya dongeng-dongeng nusantara itu kurang bagus cetakannya walaupun ada juga kumpulan dongeng nusantara yang bagus penampilannya. Tapi dibandingkan buku-buku dongeng dari luar, cerita rakyat nusantara seperti kurang menarik dari segi gambar dan penampilannya. Padahal aku ingin sekali memperkenalkan anakku pada kekayaan cerita rakyat yang juga beragam seperti Malin Kundang dan lain-lain itu. Atau aku aja kali ya yang belum nemu bukunya?
Oh iya, mungkin belakangan postinganku banyak yang seperti promosi ya bahkan postingan ini agak mempromosikan event di toko buku pula, tapi beneran koq baik postingan ini, yang sebelum ini bahkan yg sebelumnya lagi itu sama sekali gak dibayar lhooo .